Beritawoi.com – Majelis Hakim kembali menyelenggarakan persidangan gugatan Keputusan Tata Usaha Negara tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa (PT. MUP) (06/05/2025), di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Gugatan tersebut terdaftar dalam register perkara Nomor 444/G/LH/2024/PTUN.JKT. Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) berupa PKKPRL tersebut diterbitkan oleh Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: 20062210517100001 tentang Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang Laut (PKKPRL) kepada PT Manado Utara Perkasa, tanggal 17 Juni 2022.

Dalam gugatan ini, PT Manado Utara Perkasa merupakan Tergugat II Intervensi. Penggugat PKKPRL Manado Utara ini adalah Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA) dan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI) yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir dan Pulau Kecil (TAPaK).
Judianto Simanjuntak sebagai Kuasa Hukum Penggugat yang tergabung dalam Tim Advokasi Penyelamatan Pesisir Dan Pulau Kecil (TAPaK) menyatakan dalam persidangan ini, Penggugat menghadirkan 2 (dua) orang saksi perwakilan warga pesisir Manado Utara datang ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Kehadiran 2 (dua) orang saksi tersebut menyampaikan keterangan warga pesisir
Manado Utara khususnya nelayan dan perempuan terkait apa yang telah dialami/dirasakan langsung oleh mereka. “Penting bagi Majelis Hakim yang
menangani gugatan PKKPRL Manado Utara ini untuk mengetahui bagaimana proses penyusunan KTUN ini yang tidak melibatkan dan tidak mengakomodir berbagai penolakan yang dilakukan oleh warga terdampak.
Selain tidak adanya partisipasi, Majelis Hakim juga harus mengetahui bagaimana dampak proses reklamasi ini bagi nelayan dan masyarakat pesisir lainnya, dan bahkan konflik sosial telah terjadi sebagai akibat PKKPRL Manado Utara ini,” tegas Judianto.
Judianto Simanjuntak melanjutkan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di Indonesia, partisipasi masyarakat secara bermakna (Meaningful Participation), terutama warga yang tinggal di sekitaran pesisir atau pulau kecil,
tidak dapat dipisahkan.
Hal ini sesuai dengan asas peran serta masyarakat sebagaimana diatur dalam Pasal 4 huruf h dan huruf d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Faktanya pola interaksi antara Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan dengan masyarakat dengan masyarakat Terdampak masih bersifat Manipulasi (Manipulation) yang masuk dalam kategori tidak ada partisipasi ( Non Partisipasi).
Jadi penerbitan Objek Sengketa (PKKPRL) tidak didasarkan pada informasi yang lengkap kepada masyarakat yang bermukim di pesisir Teluk Manado/Laut Sulawesi, sehingga bertentangan dengan asas keterbukaan.
Saksi pertama yang berprofesi sebagai nelayan kecil/tradisional yang berasal dari
Kelurahan Bitung-Karangria menerangkan bahwa objek sengketa tersebut merupakan area tangkap nelayan kecil/tradisional yang tinggal di Kecamatan Bitung Karangria. “Saya sebagai nelayan melaut di dekat pantai hingga 500 meter ke laut dari pantai. Ada ikan yang kami tangkap khusus di area muara sungai. Dilokasi yang akan direklamasi itu, kami menangkap ikan marlin, layaran, kembung, tuna gigi anjing, nike, kerapu dan masih banyak lagi. Setiap hari dari hasil tangkapan itu akan kami dijual ke pasar. Reklamasi akan merugikan kami karena ikan akan
pindah ke lokasi lain,” jelas Saksi pertama.
Saksi pertama melanjutkan bahwa “di Kecamatan Tumumpa Dua, pantainya telah dipagari, akan tetapi rencana tersebut juga dilakukan di Kecamatan Bitung Karang Ria, akan tetapi pagar tersebut hingga saat ini belum berdiri karena kami
melakukan penolakan pemasangan pagar itu. Kami sebagai nelayan memiliki pengetahuan dan tradisi dalam melihat ikan.
Nelayan memantau laut dan ikan dari rumah kami yang tepi pantai. Jika nelayan melihat burung camar di atas laut berarti itu menandakan adanya ikan, sehingga kami bisa langsung bersiap ke laut untuk menangkap ikan. Saat pantai kami itu dipagar, maka kami tidak bisa memantau dan melakukan tradisi itu lagi,” tegas Saksi pertama.
Saksi pertama juga menjelaskan bahwa dia telah ikut bergabung untuk melakukan aksi penolakan reklamasi di Kantor Walikota dan juga DPRD Provinsi Sulawesi Utara. “Saya bersama nelayan lainnya telah menyampaikan penolakan karena
reklamasi akan berdampak kepada kami sebagai nelayan. Kami nelayan diterima oleh DPRD Sulawesi Utara. Hasilnya DPRD Sulawesi Utara telah mengeluarkan surat rekomendasi pemberhentian sementara reklamasi, akan tetapi reklamasi tidak berhenti dan masih berjalan. Kami juga menagih janji Walikota ketika beberapa tahun yang lalu Walikota mengeluarkan surat bahwa area tambatan perahu tidak akan dialihfungsikan untuk kegiatan apapun,” jelas Saksi pertama.
Sedangkan Saksi Kedua adalah perwakilan perempuan pesisir Manado Utara yang
merupakan ibu rumah tangga, yang juga berprofesi sebagai nelayan dan juga pegiat
pariwisata.
Saksi kedua menyebutkan bahwa menyebutkan bahwa area yang akan direklamasi PT Manado Utara Perkasa adalah area penangkapan ikan. “Selain itu, wilayah pantai Bitung Karang Ria adalah tempat belajar bahasa inggris anak-anak nelayan dan warga lainnya secara gratis. Belajar bahasa inggris sering kami awali dengan bersih-bersih pantai. Ini kami lakukan agar anak-anak
ini sadar akan lingkungan pantai dan laut. Selain itu, bagi kami pegiat pariwisata, keindahan pantai ini adalah nilai jual kami untuk menarik wisatawan untuk makan sambil menikmati pemandangan pantai dan laut. Akan tetapi dengan adanya reklamasi ini, kami mengalami penurunan wisatawan dan berakibat berkurangnya pendapatan kami,” jelas Saksi kedua.
Saksi kedua menambahkan bahwa dalam proses penerbitan PKKPRL ini, Saksi kedua tidak pernah dilibatkan. “Bahkan kami mengetahui adanya rencana reklamasi tersebut setelah adanya plang yang menyebutkan Reklamasi dan izin PKKPRL PT Manado Utara Perkasa.
Setelah kami melihat plang itu, kami
melakukan penolakan ke berbagai kantor pemerintah, dari Walikota, kantor Gubernur, DPRD, kantor Polisi, juga di pantai Bitung Karang Ria kami lakukan aksi damai. Akan tetapi, suara kami tidak pernah didengar!” tegas Saksi kedua.
Kuasa Hukum lainnya (TAPaK), Mulya Sarmono menyebutkan bahwa dari keterangan 2 (dua) orang saksi tersebut membuktikan Menteri Investasi/Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang menerbitkan Objek Sengketa (PKKPRL) tersebut atas nama Menteri Kelautan dan Perikanan tidak menerapkan ASAS KEHATI-HATIAN.
Sebenarnya penerapan asas kehati-hatian sangat penting, sebab reklamasi di Teluk Manado/Laut Sulawesi berpotensi mengganggu bahkan merusak karang dan/atau terumbu karang yang telah hidup di Teluk Manado yang memiliki peran yang sangat penting dalam melindungi wilayah pantai dari hempasan gelombang besar, dan berperan penting dalam menopang produktivitas perairan Teluk Manado/Laut Sulawesi.
Mulya Sarmono lebih lanjut menyatakan asas kehati-hatian terdapat dalam Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta Nomor: 59/G/LH/2023/PTUN.JKT tanggal 24 Juli 2023, yang kemudian dikuatkan melalui Putusan Mahkamah Agung Nomor: 277 K/TUN/LH/2024, tanggal 24 Agustus 2024, pada alinea ketiga halaman 338 yang menyatakan bahwa Asas Kehati-hatian mengarahkan agar pengambil keputusan tidak berhenti melakukan tindakan pencegahan.
Sebaliknya, beberapa hal atau informasi yang masih diliputi ketidakpastian seharusnya menjadi alasan untuk pengambil keputusan untuk melakukan tindakan pencegahan sebagai wujud
tindakan hati-hati, maka pengambil keputusan (in casu Tergugat) menggunakan Doktrin in dubio pro natura yaitu haruslah memberikan pertimbangan atau penilaian yang mengutamakan kepentingan perlindungan dan pemulihan
lingkungan hidup;
Merespon keterangan dua (2) saksi perwakilan warga Manado Utara, Sekjen Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA), Susan Herawati, menyebutkan bahwa keterangan dua perwakilan warga tersebut membuktikan kepada Majelis Hakim bahwa tidak adanya partisipasi yang bermakna dari masyarakat menyatakan penolakan pesisir pantai Manado Utara untuk penyiapan lahan dengan cara reklamasi. “Tidak adanya partisipasi bermakna dari warga, bahkan telah terjadi beragam dan berbagai aksi penolakan baik di level Sulawesi Utara maupun level Kota Manado menjadi fakta bahwa nelayan kecil/tradisional dan warga pesisir Manado Utara lainnya dengan tegas menolak reklamasi pantai Manado Utara. Berdasarkan data Kemendagri tahun 2025 bahwa terdapat 633 jiwa nelayan yang secara resmi tercatat sebagai nelayan yang akan terdampak dari reklamasi ini akan tetapi juga banyak nelayan kecil dan tradisional yang tidak tercatat
berprofesi sebagai nelayan,”. tegas Susan.
Susan menambahkan bahwa “Dari penjelasan dua saksi tersebut, pada pokoknya menyampaikan bahwa mereka mengetahui bahaya dan dampak reklamasi bagi lingkungan, sosial, perekonomian, bahkan potensi hilangnya budaya nelayan untuk melaut. Reklamasi juga pernah terjadi sekitar tahun 1995 untuk pembangunan jalan Boulevard di Manado Selatan. Dampak reklamasi itu, nelayan
mengungkapkan bahwa desa sekitar yang tidak pernah banjir, menjadi banjir. Dulu mereka nelayan masih bisa menangkap ikan marlin di laut Manado Selatan maupun laut Manado Utara, tapi setelah reklamasi jalan Boulevard, ikan tersebut tidak lagi ditemukan di Manado Selatan, dan tinggal di Manado Utara. Ini menjadi urgensi bagi Majelis Hakim untuk berpihak pada keadilan dan keberlanjutan sosial-ekologi di wilayah pesisir dari ancaman reklamasi dan perusakan ekosistem laut!” tutup Susan.
Sumber : Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (KIARA)